Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional
Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang
Manggarai” (satu hati untuk Manggarai).
Di Manggarai, Flores - NTT, caci itu sendiri adalah
tarian kesatriaan pria-pria Manggarai. Watak kesatriaan itu terlihat pada
ketangkasan menggunakan peralatan dan pernak-pernik caci. Peralatan dan
pernak-pernik tersebut, dalam bahasa Manggarai, adalah panggal, lalong ndeki,
nggorong, nggiling, agang, larik, sapu dan songke. Caci secara etimologis
berasal dari dua suku kata yakni ca dan ci. Ca
berarti satu dan ci berarti lawan.
Jadi, caci berarti tarian seorang melawan seorang yang lain. Prinsipnya adalah
sportif dan kreatif dalam aksi.
Selain tarian caci, ada juga tarian lain yang
bertalian dengan pentas budaya Manggarai yakni tarian tiba meka, danding dan 2
(dua) tarian kreasi (sae kaba-ndundu ndake-pua kopi). Masing-masing tarian
tersebut mengungkapkan kehangatan sikap orang Manggarai dan menceritakan
kebiasaan dalam realitas orang Manggarai.
Aspek-aspek dalam
sinopsis tari
1.
Nama tarian : Tari Caci (Tari Perang
Nusa Tenggara Timur)
2. Nama tempat (keadaan lingkungan
tarian tersebut berasal) :
Caci atau tari Caci atau adalah tari perang
sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung
dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Caci
merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di
wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering
dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan
ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna
ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan
merupakan ritual Penti Manggarai.
3.
Klasifikasi Tari :
Tari Caci adalah ritual Penti Manggarai. Upacara
adat merayakan syukuran atas hasil panen yang satu ini dirayakan bersama-sama
oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum
reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai. Tari ini dimainkan saat
syukuran musim panen (hang woja) dan
ritual tahun baru (penti) , upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar
lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.
Ritus penti dimulai dengan acara berjalan kaki dari
rumah adat menuju pusat kebun atau Lingko,
yang ditandai dengan sebuah kayu Teno.
Di sini, akan dilakukan upacara Barong
Lodok, yaitu mengundang roh penjaga kebun di pusat Lingko, supaya mau hadir
mengikuti perayaan Penti. Lantas kepala adat mengawali rangkaian ritual dengan
melakukan Cepa atau makan sirih,
pinang, dan kapur. Tahapan selanjutnya adalah melakukan Pau Tuak alias menyiram minuman tuak yang disimpan dalam bambu ke
tanah.
Urutan prosesi tiba pada acara menyembelih seekor
babi untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur. Tujuannya, supaya mereka
memberkahi tanah, memberikan penghasilan, dan menjauhkan dari malapetaka. Para
peserta pun mulai melantunkan lagu pujian yang diulangi sebanyak lima kali.
Lagu itu disebut Sanda Lima.
Usai itu, rombongan kembali ke rumah adat sambil
menyanyikan lagu yang syairnya menceritakan kegembiraan dan penghormatan
terhadap padi yang telah memberikan kehidupan. Ritual Barong Lodok yang pertama ini dilakukan keluarga besar yang berasal
dari rumah adat Gendang. Upacara serupa juga dilakukan keluarga besar dari
rumah adat Tambor. Keduanya dipercaya sebagai cikal bakal suku Manggarai.
Sebenarnya, ritual Barong Lodok juga disimbolkan
untuk membagi tanah ulayat kepada seluruh anggota keluarga. Tanah yang bakal
dibagikan itu mempunyai beragam perbedaan luas, tergantung status sosial.
Pembagiannya disimbolkan dengan Moso,
yakni sektor dalam Lingko yang diukur dengan jari tangan. Tanah tersebut dibagi
berdasarkan garis yang mirip dengan jaring laba-laba. Tua Teno adalah satu-satunya orang yang memiliki otoritas membagi
tanah tersebut.
Sehabis Barong Lodok, prosesi berlanjut ke ritual Barong Wae. Di sini, warga kembali akan
mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air. Menurut kepercayaan, selama
ini roh leluhur itu telah menjaga sumber mata air, sehingga airnya tak pernah
surut. Ritual ini juga menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan, yang telah
menciptakan mata air bagi kehidupan seluruh warga Desa. Korban yang
dipersembahkan adalah seerkor ayam dan sebutir telur.
Rangkaian upacara dilanjutkan dengan ritual Barong Compang. Prosesinya dilakukan di
tanah yang berbentuk bulat, yang terletak di tengah kampung. Roh penghuni Compang juga diundang mengikuti upacara
penti di rumah adat pada malam hari. Suku Manggarai mempercayai, roh kampung
yang disebut Naga Galo selama ini berdiam di Compang.
Bagi suku Manggarai, peranan Naga Galo sangat
penting dan amat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya, Naga Galo-lah
yang telah melindungi kampung dari berbagai bencana. Mulai dari kebakaran,
angin topan, bahkan bisa menghindarkan timbulnya kerusuhan di kampung. Ritual
Barong Compang diakhiri dengan langkah rombongan yang masuk ke rumah adat,
untuk melakukan upacara Wisi Loce. Di sana, mereka menggelar tikar, agar semua
roh yang diundang dapat menunggu sejenak sebelum puncak acara Penti.
Keluarga dari rumah adat Gendang dan Tambor
melanjutkan acara Libur Kilo. Prosesi yang satu itu bertujuan mensyukuri
kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah adat. Uniknya, upacara tadi
dipercaya sebagai upaya membaharui kehidupan bagi seluruh anggota keluarga.
Sebab dalam upacara itu, warga yang bermasalah, dapat membangun kembali
hubungan keluarga supaya lebih baik lagi.
Puncak acara Penti ditandai dengan berkumpulnya
kepala adat kampung, ketua sub klen, kepala adat yang membagi tanah, kepala
keluarga, dan undangan dari kampung lain. Mereka berdiskusi membahas berbagai
persoalan berikut jalan keluarnya.
Ritual Penti bukan satu-satunya ritual yang kerap
dilakukan masyarakat suku Manggarai. Sebab masih ada Caci, olah raga
tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Pentas kolosal pemuda
setempat itu diyakini bisa terus menjaga jiwa sportivitas. Maklum, olah raga
yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan
menggunakan pecut dan tameng. Pertarungan antardua pemuda tersebut selalu
dipenuhi penonton dalam setiap pergelaran di lapangan rumput Kota Ruteng,
Kabupaten Manggarai.
4. Tema (cerita tari) :
Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional
Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang
Manggarai” atau Satu hati untuk bumi Manggarai. Makna cerita ini mempertegas
bahwa caci bukanlah tarian atraksi saling unjuk kekuatan atau kecekatan,
melainkan tarian yang menggambarkan keakraban dan persaudaraan. Tarian ini
menggambar suka cita masyarakat Manggarai.
5. Pencipta Tari : Tidak diketahui
6. Para penari atau pemusiknya :
Para penari caci semuanya adalah laki-laki tetapi
tidak semua lelaki dapat unjuk kebolehan dan keterampilan di arena caci. Terdapat
sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah tubuh atletis
adalah salah satu syarat yang harus dimiliki seorang penari caci. Syarat
lainnya, penari harus pandai pula menyerang lawan dan atau bertahan dari
serangan lawan, luwes dalam melakukan gerak tari, serta dapat menyanyikan lagu
daerah. Hal-hal tersebut yang akan mereka lakukan selama pertunjukkan yang
diringi musik gendang, gong, dan nyanyian. Tarian ini dibawakan laki-laki dan
perempuan yang memang khusus
dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan
gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk
membangkitkan semangat para petarung Caci.
Para penari Caci sebelum memasuki arena yang
biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan
badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil
menyanyikan lagu-lagu adat.
Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci
dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci. Empat
pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang
sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan.
Tarian ini dibawakan oleh empat orang dan didukung delapan orang penyanyi
tradisional untuk mengiring penampilan grup ini. Empat orang itu adalah Anyok
Fanis Sina, Roby Yanuarius, Renold Yoland dan Dolfus Jama.
Mereka yang membawakan atraksi caci ini merupakan
gambaran pria Manggarai yang memiliki nyali untuk bertarung. Mereka saling
serang dan bertahan, bahkan saling melukai. Namun tidak ada dendam di antara
mereka. Yang ada hanya suka cita.Caci merupakan tarian atraksi dari bumi
Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini.
Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus.
7.
Gambaran interaksi dan komunikasi antar pendukung tari, pemusik, penonton, atau masyarakat secara luas.
Saat diadakan pertunjukkan caci, biasanya pesta
besar pun dilangsungkan dengan memotong beberapa ekor kerbau kemudian disajikan
sebagai makanan bagi para peserta dan
penonton. Biasanya, dua kelompok tari caci merupakan kelompok laki-laki
dari dua desa atau kampung. Sorak penonton menggema, memahami makna tetesan
darah sebagai persembahan untuk kesuburan dan lambang kejantanan.
8. Bentuk gerak :
Seorang laki-laki yang berperan sebagai pemukul
(disebut paki) berusaha memecut lawan dengan pecut yang dibuat dari kulit
kerbau/sapi yang dikeringkan. Pegangan pecut juga dibuat dari lilitan kulit
kerbau. Di ujung pecut dipasang kulit kerbau tipis dan sudah kering dan keras
yang disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (disebut pori). Laki-laki
yang berperan sebagai penangkis (disebut ta’ang), menangkis lecutan pecut lawan
dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu berjalin rotan yang
disebut agang atau tereng. Perisai berbentuk bundar, berlapis kulit kerbau yang
sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah tangan, sementara sebelah
tangan lainnya memegang busur penangkis.
Sebelum tarian seru ini dimulai, pertunjukan tari
caci akan diawali terlebih dahulu dengan pentas tari danding atau tandak
manggarai. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi
untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding
juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para
petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di
lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan
badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil
menyanyikan lagu-lagu adat.
Pihak penyerang akan menyerang dan mencambuk tubuh
lawan, terutama bagian lengan, punggung, dan dada. Tugas pihak lawan adalah
menangkis atau menghindari serangan tersebut dengan perisai dan busur yang ia
pegang di masing-masing tangan. Apabila kurang lincah mengelak maka dipastikan
cambuk akan menyisakan bekas di tubuh hingga berdarah. Apabila pihak yang
bertahan terkena cambuk pada matanya maka ia dinyatakan kalah (beke) dan kedua
penari harus keluar arena dan digantikan oleh sepasang penari lainnya.
Empat pria muda yang memegang pecut serta
menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung
lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Dua di antara empat orang itu saling
berhadap-hadapan, seorang diantaranya mengambil posisi siap menyerang sementara
yang lainnya mengambil posisi bertahan. Dan, sebelum menyerang, pecut tersebut
di kibas-kibas sehingga menyebabkan bunyi-bunyi yang keras dan tajam, tak
ubahnya petir. Tidak lama kemudian, seorang di antaranya mengibaskan pecut ke
tubuh seorang yang mengambil posisi bertahan dan penoton pun berteriak
histeris. Para penari cari terus saja beraksi mengikuti irama musik dan lagu.
Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana
Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci.
9. Bentuk iringan :
Para penari danding juga akan melantunkan lagu
dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci
sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu
melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan
badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil
menyanyikan lagu-lagu adat. Iring-iringan musik dari tetabuhan gendang, gong
mengeras, tembong, nggong, dan nyayian yang mempengaruhi gerak fisik.
10.
Tata rias dan busana :
Pakaian penarinya yang khas sudah menjadi daya tarik
sendiri. Penari perang tersebut mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu
dengan kain songke (sejenis songket khas Manggarai) yang dikenakan di sebatas
pinggang hingga lutut. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang sebab tubuh
tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala, para penari
mengenakan topeng (panggal) berbentuk seperti tanduk kerbau dan terbuat dari
kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni. Panggal akan menutupi
sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai
pelindung.
Para penari biasanya juga mengenakan hiasan mirip
ekor kuda terbuat dari bulu ekor kuda (lalong denki). Pada bagian sisi pinggang
terpasang sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau
sebelum dipukul lawan. Terdapat pula untaian pada pinggang belakang yang akan
bergemirincing mengikuti gerak penari sekaligus penambah semarak musik gendang
dan gong serta nyanyian (nenggo atau dere) pengiring tarian.
Para penari tersebut nampak gagah mengenakan pakaian
tersebut ditambah lagi dengan postur tubuh yang atletis. Penampilan mereka
sebagai penari perang semakin meyakinkan dengan atribut senjata. Penari yang
berperan sebagai penyerang (paki) dipersenjatai dengan cambuk yang terbuat dari
kulit kerbau atau kulit sapi yang dikeringkan. Pegangan cambuk juga terbuat
dari lilitan kulit kerbau. Pada bagian ujung cambuk, biasanya dipasang kulit
kerbau tipis yang sudah dikeringingkan (lempa) atau dapat juga menggunakan lidi
enau yang masih hijau (pori).
Untuk pakaian, para penari biasa bertelanjang dada
dengan bawahan celana panjang warna putih yang dilapisi sarung songket khas
Manggarai berwarna hitam bercorak. Di bagian pinggang, terpasang lalong denki
(aksesori berbentuk ekor kerbau yang tegak dilengkapi untaian lonceng yang
disebut giring-giring, yang berbunyi ketika para penari bergerak). Di sekujur
pinggang juga terdapat sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari
setelah atau sebelum dipukul lawan.
Mereka menggunakan kain destar untuk menutupi wajah
dengan tujuan melindungi dari cambukan. Sebagai penghias kepala, mereka
mengenakan panggal yang terbuat dari kulit kerbau berlapis kain warna-warni.
Bentuk panggal adalah kerbau. Ini melambangkan bahwa lelaki harus tangguh dan
berani, serupa kerbau. Simbolisme terhadap kerbau memang begitu kuat dalam tari
caci. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, kerbau adalah hewan terkuat dan
terganas di dunia. Di luar itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung
arti lima dasar kepercayaan. Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu
pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara
persembahan.
11.
Properti yang digunakan :
Pemain dilengkapi dengan pecut (larik), perisai (nggiling),
penangkis (koret), dan panggal (penutup kepala), pelindung dada, pelindung kaki
dan lutut (bik). Pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang
pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan sarung songke
(songket khas Manggarai). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang
hingga selutut untuk menutupi sebagian dari celana panjang. Di pinggang
belakang dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain.
Topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari
kulit kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang
berbentuk seperti tanduk kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari
pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah
gerakan dan pukulan lawan.
Bagian kepala dan wajah pemain hampir seluruhnya
tertutup hiasan kepala dan kain sarung (kain destar) yang dililit ketat di
sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan mata dari cambukan. Seluruh
kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kecuali bagian tubuh
dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk
pinggang. Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang terbuka adalah sasaran
cambuk. Caci juga sekaligus merupakan medium pembuktian kekuatan seorang
laki-laki Manggarai. Luka-luka akibat cambukan dikagumi sebagai lambang
maskulinitas.
Caci penuh dengan simbolisme terhadap kerbau yang
dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di daerah Manggarai. Pecut
melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Perisai
melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk dilecutkan dan
mengenai perisai, maka terjadi persatuan antara cambuk dan perisai.
Bagi orang Kabupaten Manggarai, caci merupakan pesta
besar. Desa penyelenggara memotong beberapa ekor kerbau untuk makanan para
peserta dan penonton.
12.
Peraturan :
Caci dimainkan dua orang laki-laki, satu lawan satu,
namun memukul dilakukan secara bergantian. Para pemain dibagi menjadi dua
kelompok yang secara bergantian bertukar posisi sebagai kelompok penyerang dan
kelompok bertahan. Caci selalu dimainkan oleh kelompok tuan rumah (ata one) dan
kelompok pendatang dari desa lain (ata pe’ang atau disebut meka landang yang
berarti tamu penantang. Tarian Danding atau tandak Manggarai ditarikan sebagai
pembuka pertunjukan caci. Penari caci tidak hanya menari namun juga melecutkan
cambuk ke lawan sembari berpantun dan bernyanyi. Lokasi pertandingan caci
biasanya di halaman rumah adat.
Bila pukulan lawan dapat ditangkis, maka pecutan
tidak akan mengenai badan. Kalau pecutan tidak dapat ditangkis, pemain akan
menderita luka. Jika mata terkena cambukan, maka pemain itu langsung dinyatakan
kalah (beke), dan kedua pemain segera diganti.
Pertarungan berlangsung dengan diiringi bunyi
pukulan gendang dan gong, serta nyanyian (nenggo atau dere) para pendukung.
Ketika wakil kelompok bertanding, anggota kelompok lainnya memberi dukungan
sambil menari-nari. Tempurung kelapa dipakai sebagai tempat minum tuak yang
dipercaya dapat menggandakan kekuatan para pemain dan penonton. Seperti
layaknya pertandingan bela diri, sebagian penonton ada mendukung penyerang,
sementara sebagian lagi mendukung pemain bertahan. Anggota kelompok atau
penonton bersorak-sorak memberi dukungan agar cambuk dilecutkan lebih kuat
lagi.